sarjana muda (1)

Bismillahirrahmaanirrahiim…
Allohumma bariklana fiimaarojaktana wakinaa’adzabannaar…
“Alhamdulillah njih Bu, taksih saget maem nasi.
Mboten kados dhek wingi…
Namung toyo pethak…”, ucapku lirih.
Kami memang hidup serba kekurangan dan miskin. Masa depan suram, tanpa rencana. Ibuku cuma lulus kelas 1 sekolah rakyat. Belum fasih membaca dan menghitung. Bahkan membedakan huruf F, P, dan V pun masih payah. Tak bisa bahasa Indonesia, hanya fasih bahasa jawa. Namun tekadnya untuk merubah hidup sangat kuat. Ia sangat yakin dengan firman Allah S.W.T “dan Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali ia sendiri mau merubahnya…”. Dan satu – satunya orang yang beliau harapkan adalah aku.
“iyo nak, nanging elingo..
Paribasan mung banyu putih yo Nak..,
Gusti Alloh tasih paring sehat…,
Ibu sih di paringi kuat nindakke ngibadah..”
Ibu sudah 72 tahun, namun keinginan beliau untuk beribadah masih sangat kuat. Tak pernah ku lihat beliau meninggalkan sholat malam, apalagi sholat wajib.
“Bu, dinten niki kulo badhe pados kerjo malih..
Wingi kulo angsal panggilan dateng PT. Sura Praja Surabaya.
Kulo nyuwun tambahing pangestu njih Bu…???”, ucapku memohon.
Ibuku juga orang yang kuat fisiknya. Dua tahun yang lalu beliau baru berhenti jualan di Pasar.
Tepat saat aku semester 6 di Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. Saat itu aku bilang ke ibu untuk berhenti jualan.
“bu…
Ibu pun sadean malih njih…
Dateng Jakarta kulo pun saged nyambi..
Ngelesi lare SMA…
Alhamdulillah pun angsal yotro piyambak..
Insyaalloh cekap kagem biaya kuliah kulo…” kenangku dalam surat tertanggal 28 mei 1998.
“pangestune ibu ya ngger….
Mugo mugo Gusti Pangeran kerso paring slamet, paring lancar lan sukses anggene ujian…
Ibu mung iso mbantu dongo ngger…..”, ucarnya berbisik.
“amin…”, jawabku khusuk.
Beberapa tetes air mata mengantar kepergianku. Menguatkan niat, mewujudkan sebuah harapan.
Janji ini terucap, walaupun tak terdengar. Haruskah ku teriakkan dengan keras, meski tetap tersimpan terkunci dalam hati. Takut akan kegagalan yang sudah terjadi sebelumnya.
“aku pasti berhasil…!!!”, batinku bersemangat.
“air mata yang menetes, pasti kan ku tebus dengan keberhasilanku….”.

Tak banyak uang saku yang kubawa, berbekal doa dari ibu itu sudah lebih dari cukup. Hanya Allah yang maha Kaya, Allah-lah Maha Kuasa.
Kampungku sunyi, kampungku sepi…
Sang surya mulai menguning, pertanda senja tiba. Perjalanan malam kupilih karena jalan mungkin akan sepi, dan perjalananpun bisa lebih cepat. Toh besok aku perlu istirahat dulu sebelum memulai ujian. Awan sekarang mendung, tangisan awan mungkin akan menyambut malam gelap. Malam yang penuh misteri. Malam dimana kampungku banyak terjadi peristiwa. Malam dimana para kupu kupu berkeliaran mencari teman. Teman dalam kesunyian kampung halaman.
Bus yang kutunggupun tiba, tak penuh orang namun tetap panas. Tak ber-AC seperti kebanyakan bus kota Jakarta. Awan pun menangis tepat ku melangkahkan kaki. “Ini sebuah restu atau….???”, batinku berpikir.
Kampungku sunyi, kampungku sepi…
Hujan terasa deras walau aku ada di dalam bus, tetesannya terasa seperti berjatuhan di kepalaku. Cukup keras terdengar mengalahkan raungan mesin bus kota yang sudah tua renta ini. Bangku 2 tempat duduk yang kosong itu cepat ku isi. biar tak berdesakan seperti di bangku isi 3. Bersandar didinding bus yang sedikit berkarat, menikmati hujan lebat kampung halaman. Dan ku pun tertidur pulas….
…………

0 komentar: